Feeds:
Posts
Comments

Oleh. Nisaul Fadillah

Setiap minggu pertama Hari Senin di bulan Oktober saban tahun diperingati Hari Habitat Dunia (HHD), tahun ini HHD jatuh pada tgl 5 Oktober. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui tentang HHD karena gaungnya pun tidak begitu terdengar apalagi di tingkat lokal, namun pada dasanya HHD adalah alarm yang erat kaitannya dengan kebutuhan menyangkut keberlangsungan (sustainability) hidup manusia untuk memiliki hunian dan pemukiman yang layak. HHD adalah agenda dunia yang ditetapkan oleh PBB dalam sidang umumnya tahun 1985. Sejak itu, UN-Habitat, badan di bawah PBB mulai melaksanakan agendanya yang pencanangannya dimulai tahun 1986 di Nairobi, Kenya. Ada banyak tema yang telah diusung oleh UN-Habitat terkait dengan kota yang ideal, antara lain: A Safe City is a Just City (2007), Harmonious Cities (2008), Planning Our Urban Future (2009), Better City Better Life (2010), Cities and Climate Change (2011), Changing Cities Building Opportunities (2012), Urban Mobility (2013), Voices from Slums (2014).

Lantas apa sebenarnya esensi dari Hari Habitat? Sesuai dengan namanya habitat adalah lingkungan tempat hidup manusia yang harus memenuhi kriteria layak dan berkelanjutan. Tahun ini tema yang diusung adalah Public Spaces for All atau Ruang Publik untuk semua. Hal ini berangkat dari kesadaran akan semakin tingginya permintaan hunian dan fasilitas pendukung fisik pada masyarakat urban, namun di sisi lain luas lahan tidak pernah bertambah sehingga ruang public tidak mendapat perhatian serius. Penulis merasa tersentil untuk ikut berbagi keresahan tentang ruang publik ini, tidak sebagai seorang ahli tata ruang kota ataupun seorang planalogis, namun lebih sebagai warga kota yang memiliki tanggung jawab memikirkan keberlangsungan habitat kota ini.

Pertumbuhan Jambi dan Krisis Ruang Publik
Jambi mengalami begitu pesat dalam pembangunan fisik. Lebih dari satu decade Propinsi Jambi sudah menjelma menjadi 11 kabupater/kota pasca diluncurkannya UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Padahal sebelumnya hanya 5 Kabupaten/Kota sebelum tahun 1998. Ini menunjukkan begitu cepat pertumbuhan penduduk dan status wilayah administrative setingkat kecamatan bermetamorfosa menjadi kota atau kabupaten. Kota-kota baru yang terbentuk tersebut tentunya bergumul dengan dinamikanya masing-masing bergerak memenuhi tuntutan vital sebuah kota dengan ciri khas pembangunan fisiknya. Bagaimana cermin masing-masing ibu kota wilayah administrasi tersebut?

Potret yang paling dekat adalah Kota Jambi. Sebagai ibu kota propinsi, Kota Jambi mengalami pertumbuhan pesat dan bahkan pertumbuhan ekonominya tertinggi di Sumatera. Pembangunaan perumahan, mall-mall, perkantoran, jalan dan fasilitas fisik pendukung lainnya begitu massif dilakukan. Sayangnya, pembangunan tersebut belum memikirkan kebutuhan ruang public. Padahal ruang public, besar sekali manfaatnya untuk keberlangsungan kota. Ia tidak hanya mampu meningkatkan kebahagiaan masyarakat kota tetapi juga meningkatkan nilai property yang ada. Ruang public bersinergi juga bagi pertumbuhan ekonomi.

Ruang public adalah lahan bebas yang diisi fasilitas fisik bisa berupa taman, tempat bermain anak-anak dan remaja, ataupun panggung pertunjukan seni yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kota secara gratis. Garis bawahi bahwa sifatnya tidak boleh eksklusif, ia harus gratis dan bisa dan gampang diakses semua kalangan dalam segala tingkatan usia bahkan fasilitasnya pun harus ramah bagi kelompok manula, balita dan penyandang disabilitas. Tujuannya tentu untuk mewadahi masyarakat kota dalam berinteraksi dan berkomunikasi, menghilangkan sekat-sekat sosial, meningkatkan kreatifitas, dan menumbuhkan sikap kepedulian sesama, serta menciptakan keindahan kota.

Ruang Publik; Sebuah Keharusan

Simpel untuk melihat apakah ada ruang publik yang layak di sediakan pemerintah, cari tahulah kemana masyarakat kelas menengah ke bawah terutama menghabiskan waktu luangnya atau hari liburnya. Dugaan penulis sama, ketika pertanyaan ini diajukan kepada rekan-rekan dalam sebuah diskusi ringan, hampir semua menjawab, pilihannnya adalah kawasan perkantoran seperti perkantoran gubernuran atau walikota. Inilah ruang publiknya masyarakat Jambi. Ups, mungkin anda akan protes karena kawasan itu bukanlah ruang public yang direncanakan, hanya saja diiizinkan untuk masyarakat Jambi kumpul atau sekedar olah fisik, lari pagi dan belanja di pasar rakyat dadakan selama jadwal kegiatan perkantoran libur, biasanya Hari Sabtu dan Minggu. Fasilitasnya ya sebagaimana fasilitas perkantoran. Di luar hari-hari libut tentu saja anda tidak akan bisa menemui aktivitas ini karena sudah berganti fungsi utama sebagai pusat pemerintahan kota ataupun propinsi.

Lantas siapa yang bertanggung jawab menciptakan kota yang berkelanjutan dengan pemenuhan salah satu syarat yakni ketersediaan ruang publik? Tentu jawabanya adalah kita semua. Namun jika pilihan untuk memiliki dan mengelola ruang public tidak mungkin dilakukan oleh setiap keluarga urban, apakah bisa kebutuhan ini dikelola bersama? Jawabannya tentu saja bisa, karena pada dasarnya ruang terbuka adalah kebutuhan kolektif, tidak perlu dimiliki oleh pribadi tetapi bisa dinikmati bersama-sama. Pemerintah sebagai pemegang kewenangan dalam tata wilayah kota harus menjembatan kebutuhan masyarakat kota. Pemerintah jugalah yang harus menyediakan ruang public dan mewajibkan bagi pengelola lahan seperti kontrator perumahan dan fasilitas umum lainnya untuk menyisihkan lahannya bagi ruang public yang bisa diakses warga kota tanpa kecuali secara gratis tanpa pungutan. Atau pilihannya harus ada komitmen pengusaha real estate ataupun kawasan perbelanjaan untuk sharing profit bagi pengelolaan ruang public berkelanjutan yang dikelola di satu lahan bersama.

Hidup layak dan berkelanjutan adalah bagian dari kebutuhan manusia dan dikategorikan sebagai kebutuhan HAM. Apalagi mengingat pembangunan Jambi secara fisik yang luar biasa, terutama pusat-pusat belanja, mall-mall, hotel, restoran serta ragam bisnis yang menjadi urat nadi perekonomian kota. Lihatlah betapa sajian-sajian yang dihidangkan oleh pengelola pusat belanja dilahap habis oleh masyarakat. Masyarakat tidak banyak pilihan dalam memanfaatkan waktu luangnya. Namun di sisi lain kita pun perlu waspada tentang bahaya yang mengintai, dahsyatnya magnet yang ditawarkan oleh pengelola-pengelola pusat-pusat bisnis bukan tidak mungkin mengantarkan kita menjadi masyarakat yang konsumtif, hedonis, malas, tidak kreatif, tidak produktif, tidak peduli, serta individualis yang pada akhirnya akan melahirkan lebih jauh kesenjangan-disparitas sosial masyarakat. Kesemuanya itu jangan –jangan berawal dari kealfaan kita menyediakan ruang yang bernama ruang publik.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Jambi Ekspress, Senin 5 Oktober 2015

Pesona Jokowi dalam Pilwako Jambi

Oleh. Nisaul Fadillah *)

 

Hasil perhitungan KPU Kota Jambi berdasarkan formulir C1 menunjukkan keunggulan jumlah suara pada pasangan Fasha- Abdullah Sani (FAS). Walaupun kemenangan tersebut hanya berselisih pada hitungan tidak lebih dari 1 persen dibandingkan pesaing kuatnya pasangan Sum Indra-Maulana (Simpatik), namun tentu cukup untuk menunjukkan kekuatan bahwa pasangan tersebut unggul dibandingkan pasangan-pasangan lainnya.

 

Ketika tulisan ini dikirimkan, sudah bisa dipastikan tidak ada gugatan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan kecurangan dalam pelaksanaan Pilwako tersebut, itu artinya bahwa secara terbuka semua pasangan telah mengakui kemenangan suara FAS, sekalipun sebelumnya tim lainnya terutama Simpatik pernah menolak menandatangi berita acara pleno penetapan hasil akhir tersebut. Namun pada akhirnya membatalkan niat mengajukan gugatannya dan menerima hasil yang ada.

 

Semangat Jokowisasi

 

Sekalipun pelaksanaan inti pilwako Jambi 2013 sudah selesai, namun masih menyisakan cerita dalam perjalananya, terutama kentalnya persaingan dalam merebut Kursi nomor 1 Kota Jambi 2013 ini. Banyak cara dilakukan oleh para pasangan calon untuk menarik simpati dari masyarakat, antara lain menghadirkan figur-figur  atau tokoh berkualitas sebagai back up pasangan tersebut.

 

Figur tersebut terutama adalah orang-orang yang memiliki popularitas dan memiliki pengaruh serta tentunya memiliki image yang positif di tengah masyarakat. Salah satu figur yang dimaksud adalah Jokowi, seorang gubernur DKI yang menjadi tren kepemimpinan nasional masa depan. Seorang pemimpin yang biasa blusukan ke selokan, perkampungan kumuh, korban bencana untuk mendengar jeritan masyarakatnya. Seorang pemimpin yang memiliki solidaritas sosial yang tinggi yang berani memecahkan tradisi birokrasi yang lamban, formal dan syarat KKN.

 

Pasangan Sum Indra dan Maulana rupanya lebih jeli dalam melihat pesona Jokowi dengan baju kotak-kotaknya sehingga baju kotak-kotak itupun menjadi ikon Simpatik.

 

Baju kotak-kotak ini kerap dipakai dalam beberapa kali kampanye Simpatik dan bahkan menjadi foto dalam surat suara pilwako sebagaimana Jokowi mempopulerkannya dalam Pilgub DKI.

 

Tidak ingin pesona Jokowi singgah ke pasangan lain, pasangan FAS pun merebut  pesona Jokowi dengan  memampangkan  pose super besarnya Jokowi yang diapit oleh pasangan FAS, mengenakan kemeja kasual putih sambil menunjukkan 3 jari khas anak muda. Foto ini  menyampaikan kesan yang kuat bahwa sebenarnya Jokowi lebih tepat adalah milik FAS kerena Jokowi didukung oleh partai yang sama, bukan untuk pasangan lainnya, termasuk pasangan Simpatik.

 

Bukan Pesona Biasa

 

Entahlah apakah ‘kehadiran’ Jokowi yang muncul di akhir kampanye ini yang mendongkrak popularitas FAS (walaupun tipis) dibandingkan dengan Simpatik. Namun lebih dari itu, pesona yang ‘dijual’  oleh dua pasang peserta pilwako ini bukan main-main, karena tren kepemimpinan Jokowi sudah menjadi mimpi dalam masyarakat. Jokowi adalah simbol kepemimpinan yang egaliter, peka dengan masalah sosial dan berani trun lansung ke lapangan (blusukan). Ia tidak segan-segan menyingsingkan lengan baju, melepaskan sepatu,  masuk selokan,   melihat, merasakan dan mengambil tindakan yang pro kepada masyarakat.

Jika pesan ini yang ingin disampaikan oleh pasangan FAS selaku pemenang,  maka bersiaplah melakukan kerja keras dan perubahan, karena masyarakat Kota Jambi sudah muak dengan politik pencitraan ataupun kepemimpinan yang elitis, bergaya hidup hedonis, dan  tidak sensitif dengan kebutuhan masyarakat kecil.

 

*) Dosen IAIN STS Jambi, anggota Pelanta

Tulisan ini pernah di muat di Harian Jambi Ekspres tgl. 13 Juli 2013.

 

Oleh. Nisaul Fadillah

Jika membaca surat kabar, hampir setiap hari kita disodori oleh berita-berita seputar korupsi. Hal ini tidak saja dilakukan oleh pejabat di tingkat pusat tetapi juga  telah merambah di tingkat daerah. Mulai kelas kakap hingga kelas teri. Anehnya kasus korupsi acapkali menyertakan serentetan kasus pelik tentang adanya keterlibatan ‘perempuan simpanan’ di balik fantastiknya nilai nominal sebuah kasus korupsi, Sekedar mengingatkan ingatan kita, kasus Irjen Djoko Soesilo, tersangka pada silmulator SIM, adalah tersangka korupsi dengan beberapa istri,  atau Aceng Fikri mantan Bupati Garut yang diindikasikan korupsi beberapa proyek, memiliki simpanan beberapa istri dan dijatuhkan sebagai Bupati Garut justru karena isu nikah dan cerai kilatnya. Bagaimana dengan kasus korupsi di Jambi? Tentu perlu ditelusuri lebih lanjut oleh pembaca karena tulisan ini hanya sebagai penggugah wacana bahwa  kasus korupsi dan indikasi korupsi dekat sekali dengan keseharian kita dan sudah masuk dalam sendi kehidupan kita tanpa kita sadari.

Benar bahwa pelaku korupsi tidak hanya datang kaum laki-laki tapi ada beberapa kasus justru pelakunya perempuan. Namun yang membedakan tidak atau jarang adanya embel-embel ‘laki-laki  simpanan’ sebagaimana ada istilah ‘perempuan simpanan’  dalam kasus perempuan koruptor.  Perempuan yang tersandung kasus koruptor pun kerap kali hanya orang yang menjadi jebakan dari skenrio kasus yang jauh lebih besar yang pelakunya adalah laki-laki. Setidaknya beberapa analisis terhadap adanya keterlibatan perempuan simpanan entah sebagai orang yang dinikahi secara tidak resmi atau betul-betul hubungan tanpa status ini.

Pertama, ‘perempuan simpanan’ adalah bagian dari skenario penyelamatan ‘aset korupsi’, ini berkaca pada kasus yang menimpa Djoko Soesilo (DS) yang fenomenal itu.  Rupanya ini sudah menjadi modus umum yang dilakukan oleh tersangka koruptor. Sang koruptor biasanya mengatasnamakan aset-aset hasil korupsinya kepada orang-orang terdekatnya,  yang  salah satunya adalah ‘perempuan simpanan’ dari pada istri sahnya, karena mengatasnamakan istri sah sama dengan mengatasnamakan diri sendiri,  akan mudah tercium atau terlacak karena dilaporkan sah di kantor pencatatan negara. Pelaku lebih memilih ‘perempuan simpanan’   selain ada beberapa keluarga dekat dan kolega karena relatif ‘mudah dikendalikan’ dan tidak begitu ‘terang-terangan”.

Kedua,  ‘perempuan simpanan’ merupakan praktek ‘menikmati hasil korupsi’ sehingga punya kesempatan membiayai lebih dari satu perempuan resmi (istri sah) dan anak (jika ada),  dilandasi faktor kesempatan dan kemampuan membiayain lebih dari satu rumah tangga. Artinya, korupsi justru memicu laki-laki untuk memiliki lebih dari satu istri simpanan karena hasil korupsi cukup mampu membiayai lebih dari satu rumah tangga

Korupsi dan “istri simpanan’ tampaknya bisa diibaratkan dua mata uang yang saling melengkapi.  Korupsi bisa memicu seseorang untuk melakukan poligami. Sebaliknya, dengan poligami seorang pejabat negara bisa memicu sebuah tindak korupsi. Jadi wajarlah jika poligami bagi PNS dan adalah hal yang dilarang dalam UU perkawianan di Indonesia terutama bagi PNS atau pejabat negara. Selain  gaji seorang PNS atau pejabat negara yang tidak berlebih (selain seorang pejabat tidak diperkenankan berbisnis) dan sangat terukur, dan jika ada kelebihan maka nilanya tentu sesuai dengan aturan hukum yang nilainya tentu tidak akan melebihi gaji pokok. Jika seorang PNS dengan gol tertentu dan menjabat, sudah barang tentu kita masih bisa memperkirakan berapa uang yang masuk dalam setiap bulannya.

Kantor Berita China, Xinhua melansir berita bahwa 95% pejabat negeri China yang korupsi terlibat skandal perempuan simpanan, dimana terjadi jual beli kekuasaan untuk sex, judi dan pencucian uang dan sebagainya. Kasus korupsi di Indonesia pun ternyata  banyak  kesamaannya dengan China, hanya saja  yang terekspos di Indonesia adalah korupsinya, dan bukan keterlibatan perempuan simpanan tersebut. Sebut saja kasus-kasus seperti DS, Al Amin politisi PPP yang terbukti dari sebuah rekaman, atau  politisi PDIP Max Moein yang belakangan diketahui memiliki perempuan simpanan, Kita tidak bermaksud menguak kasus poligami dan perempuan simpanan karena mungkin akan susah ditelusuri lewat UU anti Korupsi, tetapi ‘kasus perempuan atau istri simpanan’ adalah justru menjadi pintu masuk untuk mengungkapkan korupsi.

Apa yang ingin saya tegaskan adalah bahwa mengungkapkan kasus korupsi sebenarnya bisa dilakukan tidak saja dengan pintu masuk ‘tertangkap tangan’ memiliki uang korupsi, tetapi bisa ditelusuri dari status perkawinan dan gaya hidup sang pejabat. Jika sang pejabat memiliki istri lebih dari satu atau bergaya hidup glamour dan hedonis, maka masyarakat pantas mencurigai apakah ada indikasi keterlibatan korupsi.  Bagi pejabat publik, kecurigaan seperti ini sangat beralasan, karena poligami selain tidak dibenarkan UU Perkawinan akan tetapi juga berpotensi penyalahgunaan kekuasaan.

Sebenarnya jika saja masyarakat diajak pro aktif dalam pemberantasan korupsi, maka akan banyak bermunculan indikasi kasus-kasus korupsi yang bisa ditelusuri oleh penegak hukum. Salah satunya adalah dengan menelusuri kasus indikasi ‘perempuan simpanan’. Ini adalah fakta yang bisa dilihat dengan kasat mata, seseorang   yang hidup dengan lebih dari satu istri akan gampang tercium karena pelaku dan pasangannya pasti hidup di lingkungan masyarakat. Memang biasanya ada ‘keganjilan’ karena biasanya pelakunya cenderung menjaga ‘jarak sosialisasi’  dengan masyarat di lingkungan tersebut. Entah karena memang sudah merasa ada yang ‘salah’ dalam perkawinannya atau justru masyarakat tidak begitu ‘nyaman’ dengan kehadiran mereka. Tapi lebih dari itu, masyarakat pun akhirnya tahu juga.

Jika benar negara punya niatan melakukan tindakan hukum terhadap kasus korupsi  maka melacak indikasi ‘istri simpanan’ adalah salah satu pintu masuk terhadap adanya tindak korupsi, karena korupsi dan istri simpanan adalah ibarat dua sisi mata uang. Ini tidak hanya indikasi pelanggaran UU perkawinan No.1 tahun 1974 dan turunannya PP No. 45 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS dan Pejabat Publik, tetapi juga potensi peyalahgunaan kekuasaan dan pemborosan anggaran negara. Salah satu cara yang paling efektif untuk mengungkapkan masalah korupsi adalah melibatkan anggota masyarakat untuk pro aktif dalam melaporkan indikasi keganjilan dalam status perkawinan seorang penjabat yang memiliki ‘istri simpanan’.

Oleh. Nisaul Fadillah, M.Si§

Sebagai salah satu isu menarik yang diangkat dalam unjuk rasa tgl 6 Maret 2013 yang ditujukan kepada anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jambi terkait dengan Pembentukan Tim seleksi (Timsel) anggota KPU kab/kota adalah dugaan praktek nepotisme. Hal ini disinyalir adanya nama dua istri anggota KPU yang menjadi anggota Timsel tersebut. Sebagai salah seorang yang dijadikan ‘sasaran tembak’, melalui opini ini saya mencoba memberi gambaran yang sebenarnya sehingga dapat dijadikan pandangan dan value lain dari sangkaan-sangkaan yang sedang berkembang di tengah masyarakat saat ini.

 Pertama, bahwa mekanisme pengajuan calon anggota timsel anggota KPU bisa dilakukan atas dasar pengajuan pribadi, diajukan oleh anggota KPU  atau rekomendasi organisasi kemasyarakatan lainnya yang ada di lingkungan masyarakat dengan tetap pertimbangan tertentu yang merujuk kepada ketentuan umum dan khusus keanggotaan Timsel anggota KPU kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Dalam mekanisme ini, saya tidak pernah mengajukan diri untuk dicalonkan sebagai anggota tim seleksi, tidak juga oleh  suami saya sendiri. Usulan nama tersebut belakangan saya tahu datang dari eksternal yakni beberapa ormas. Artinya Ada kehendak dan aspirasi orang banyak yang tidak boleh diabaikan dalam hal ini.

Anggota KPU melakukan proses penjaringan anggota Timsel tersebut baik dari sisi kualifikasi maupun integritas calon. Jika nama saya masuk dalam pertimbangan itu, saya menganggap bahwa saya cukup memenuhi kualifikasi sebagai anggota tim seleksi baik dari latar belakang sebagai seorang akademisi, independen dimana saya tidak pernah bergabung dalam partai manapun,  serta memiliki integritas moral dimana saya tidak pernah melakukan pelanggaran pidana. Lantas mengapa justru karena status sebagai istri anggota KPU membuat saya tidak layak menjadi nominasi timsel anggota KPU? Rasanya, kita juga tidak bisa menegakkan UU dengan melanggar UU itu sendiri.

Kedua, salah satu mekanisme pembentukan Timsel adalah adanya permintaan kesediaan dari calon anggota timsel.  Saya sudah pernah dihubungi oleh pihak KPU Propinsi Jambi terkait dengan permintaan kesediaan saya menjadi anggota tim seleksi anggota KPU kab/kota tersebut. Saya menyatakan tidak bersedia karena pertimbangan pribadi, bukan oleh tekanan dari pihak manapun seperti dalam pemberitaan. Mengapa ini tidak diperhatikan? Artinya data yang ada diblow up di tengah public saat ini tidak valid, karena proses pembentukan tim seleksi kab/kota belum bersifat final. Jika nama saya tercantum dalam calon anggota tim seleksi hasil pleno anggota KPU Provinsi Jambi, tentu tanpa mekanisme ini belum serta merta dianggap sebagai anggota timsel yang dimaksud. Justru pertanyaannya kemudian mengapa hasil pleno KPU Provinsi Jambi yang masih setengah matang ini bisa menjadi konsumsi public dan  dipolitisir? Tentu perlu kita curigai ada oknum-oknum anggota  KPU yang mencari keuntungan pribadi dari kasus ini.

 

Ketiga, sampai dengan opini ini disampaikan secara de fakto saya belum pernah melihat ataupun menerima SK penunjukkan saya sebagai salah satu anggota Timsel kab/kota manapun di Propinsi Jambi.

 

Perempuan dalam Penyelenggara Pemilu

Rendahnya keterwakilan perempuan dalam institusi-instusi pengambilan keputusan di negeri ini, termasuk dalam unsur penyelenggara pemilu  adalah sebuah fakta. Di Propinsi Jambi, anggota KPU yang berjenis kelamin perempuan tidak lebih dari 15%, padahal komposisi kendudukan Propinsi Jambi jumlah perempuan hampur mendekati 50%. Fenomena ini adalah fakta nasional, sehingga perangkat perundang-undangan pun dibangun untuk mendongkrak angka partisipasi tersebut, termasuk UU NO. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang salah satunya mengatur tentang tim seleksi anggota KPU.

Tim seleksi sebagaimana pasal 12 secara jelas menyebutkan bahwa keanggotaan tim seleksi memperhatikan masalah keterwakilan perempuan, kiranya turunan dari pasal tersebut di tingkat nasional hingga ke tingkat lokal harus  diimplementasi untuk mendorong masuknya perempuan dalam keanggotaaan tim seleksi anggota KPU, tanpa pengecualian sepanjang memenuhi kualifikasi yang disyaratkan.

Larangan yang jelas tercantum dalam UU yang sama bagi tim seleksi adalah mendaftarkan diri sebagai anggota KPU. Maka mempersoalkan isu (karena belum de facto) saya sebagai salah satu anggota timsel sebagai sebuah cacat hukum hanya karena saya adalah istri seorang anggota KPU adalah sangat bersifat subjektif yang nyata-nyata berbau diskriminatif dan sangat tidak berpihak dengan amanat UU tersebut. Padahal tidak ada satu klausul pun dalam UU tersebut menyebutkan larangan tersebut,.

Masa tugas timsel sekalipun memiliki durasi pendek tidak kurang dari 60 hari kerja, namun mencermati tahapan kegiatan yang harus dilakukan, bukanlah pekerjaan yang gampang, Penguasaan tentang sistem politik, aturan hukum  dan manajemen penyeleggaraan pemilu adalah harga mati untuk melakukan proses seleksi tersebut. Oleh karena itu tim seleksi harus memiliki latar belakang pendidikan minimal Strata satu dengan pengalaman organisasi yang mendukung. Akan jauh lebih berbobot dan bijak kiranya jika kita mempertanyakan bagaimana  kualifikasi, rekam jejak dan pengalaman keorganisasian, integritas moral calon-calon timsel

 

Akhirnya, biarkan anggota KPU Propinsi Jambi menyelesaikan pekerjaan pembentukan Timsel sesuai dengan kewenangan yang ada. Berikan ruang yang seluas-luasnya  kepada siapapun warga negara republic ini untuk menjadi calon anggota Timsel KPU sepanjang memenuhi kualifikasi yang disyaratkan Undang-undang. Jangan sampai sentiment-sentiment personal oknum-oknum tertentu mengangkangi UU yang seharusnya ditegakkan. Dugaan praktek nepotisme yang diisukan selama ini sama sekali tidak beralasan dengan melihat beberapa hal yang telah saya kemukakan di atas. Sekali lagi, masyarakat harus objektif melihat sebuah persoalan sesuai dengan porsinya. Masyarakat jangan lagi mau ‘ditungangi’ oleh oknum-oknum tertentu hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok mereka sendiri. Masyarakat harus lebih cerdas.

 


  • § Dosen Fakultas Adab IAIN STS Jambi, Master Ilmu Politik- Hubungan Internasional Universitas Indonesia
  • Tulisan ini pernah di muat di http://metrojambi.com/v1/home/kolom/15847-kisruh-pembentukan-anggota-timsel-anggota-kpu.html tgl. tgl10 Maret 2013 dan Harian Jambi Independen tgl 11Maret 2013

Oleh. Nisaul Fadillah *)[i]

 

Wacana Pemekaran Kabupaten Bungo

Pemekaran wilayah Kabupaten Bungo menjadi Kabupaten Bungo dan Kota Muaro Bungo sebagai calon Daerah Otonom Baru (DOB) menjadi wacana yang terus bergulir. Tidak hanya menjadi isu yang dimasukkan dalam beberapa ruang seminar, tetapi sudah meningkat pada usulan konkrit untuk diputuskan pada institusi yang berwenang yakni DPR. Dalam beberapa kali terbitan koran lokal, terkesan sekali dorongan untuk pemekaran wilayah Bungo menjadi persoalan yang harus segera diselesaikan, dimana pemerintah dan DPR memberikan pandangan tentang keseriusan mewujudkan pemekaran Kabupaten Bungo ini. Pemekaran pun dipandang wajib dan tidak bisa ditunda-tunda lagi karena dipandang menjadi kebutuhan masyarakat Kabupaten Bungo.

Walaupun wacana ini kian memanas, namun tampaknya DPR pusat masih belum memutuskan Bungo sebagai bagian salah satu DOB per Oktober 2013 baru-baru ini. Sebenarnya apa yang menjadi persoalan tentang DOB? Setidaknya kajian evaluasi DOB yang pernah dilakukan oleh Bappenas tahun 2004 yang lalu masih menjadi bagian dari persoalan-persoalan yang terus melekat dalam proses pembentukan DOB sampai hari ini. Kajian ini mungkin tidak terlalu baru, namun justru disinilah persoan sudah mulai nampak dan dikhawatirkan banyak ahli. Sebagai salah seorang yang  pernah terlibat menjadi tenaga ahli dalam kajian  tersebut, penulis merasa perlu mendistribusikan sumbangan hasil kajian tersebut sehingga pembentukan DOB termasuk Kabupaten Bungo tidak menciptakan persoalan baru.
Inkonsistensi DPR

Pasca diundangkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai buah dari reformasi memberikan ruang yang sangat besar bagi daerah untuk mengelola wilayah masing-masing. Pemerintah yang terpusat, dengan cakupan luas wilayah  Indonesia yang berpulau-pulau semakin menjadi alasan kebutuhan pelimpahan kewenangan daerah tersebut. Di satu sisi, pelimpahan kewenangan dan hak merupakan hal yang ideal dan sangat potensial untuk memajukan daerah, namun sisi lain juga berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Eforia ini akhirnya berujung dengan lahirnya ratusan wilayah DOB di Indonesia, termasuk 6 Kabupaten Kota di Propinsi Jambi. Jumlah ini terus bertambah hingga saat ini dan tidak pernah ada satupun terjadi penggabungan wilayah sebagaimana diatur juga dalam UU ini.

Sekalipun banyaknya persoalan yang dihadapi oleh DOB dan daerah induk pasca pemekaran, dan DPR beberapa waktu yang lalu sempat membuat moratorium untuk menghentikan sementara pembentukan DOB,  namun toh moratorium ini tidak berumur lama, karena bulan kemarin justru DPR mengesahkan kembali sejumlah DOB dengan memperhatikan kelengkapan usulan yang sebagian besar hanya bersifat administratif. Padahal persoalan DOB bukan saja menyangkut rekomendasi tetapi menyangkut fungsi pemerintahan yang paling substansial yakni pemenuhan hak-hak dasar warga sipil. Bagaimana pemerintah bisa menjamin kebutuhan pelayanan publik bagi masyarakat menjadi lebih baik dengan DOB karena ketersediaan dan kedekatan akses pelayanan itu sendiri dengan adanya DOB, bukan hanya bersandar pada indikator peningkatan PAD karena pemerintah bisa saja mencari sumber-sumber PAD dari pajak, yang ujung-ujungnya memberatkan masyarakat atau eksplotasi SDA yang tidak memikirkan kelangsungan anak cucu.  Peningkatan pelayanan dan PAD yang ‘sehat’lah yang semestinya menjadi tolak ukur. Jika tidak terjadi peningkatan kualitas pelayanan dan PAD ‘sehat’ maka seharusnya disinilah sangsi itu bisa diberlakukan oleh DPR, panggabungan wilayah.

 

Peta Persoalan Pemekaran Bungo

Setidaknya, ada tiga aspek yang menjadi persoalan kesiapan menjadi daerah otonom baru (DOB). Pertama, keuangan daerah. Daerah dengan potensi sumber PAD yang besar tentu akan lebih siap dibandingkan yang terbatas. Kaitan dengan studi yg pernah diadakan, ada beberapa daerah dimana pada suatu saat terjadi kemiskinan pada daerah induk atau malah pada DOBnya. Hal ini tentu harus menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan. Idealnya tentu kedua daerah baik DOB maupun induk sama sama memiliki sumber PAD yang memadai utk menghidupi ‘rumah tangganya’ masing-masing, dan tidak mengandalkan dana yang bersumber dari pusat seperti DAU dan DAK. Dan dalam beberapa daerah terjadi degradasi di salah satu daerah tersebut entah induk atau DOB, sehingga banyak pemerintah memilih jalan pintas meminta ‘upeti’ dengan label pajak dan retribusi resmi lewat perda yang ujung-ujungnya justru membebankan masyarakat itu sendiri apalagi impikasi lebih jauhnya adalah ekonomi biaya tinggi.

Bungo adalah wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, terutama batu bara, disamping perkebunan. Dengan adanya cadangan batu bara dan perkebunan yang ada maka secara signifikan bisa menopang PAD. Namun PAD pun harus ‘sehat’ tidak tentu tidak bisa bisa mengandalkan eksploitasi batu bara dan barang tambang, atau pajak/pungutan, serta DAU dan DAK pusat.  Cadangan tambang batu bara dan sejenisnya suatu saat akan habis, pungutan pada akhirnya justru membebankan masyarakat sedangkan DAU dan DAK justru menunjukkan ketidakmandirian daerah, Maka disinilah pentingnya kajian terhadap sumber PAD ‘sehat’ yang memungkinkan diharapkan namun tetap memperhatikan kesinambungan pebangunan dan tidak membebankan masyarakat dan pemerintah pusat. PAD ‘sehat’ tidak hanya bagi DOB tapi juga daerah induk, apalagi daerah induk diberi kewajiban membiayai DOB setidaknya dua tahun sejak dimekarkan.

 

Kedua, kesiapan DOB juga menyangkut tentang SDM dan kualitas pelayanan sebagai bagian dari tujuan idealnya DOB. Bagaimanapun besarnya PAD yang dikelola tetapi dibawah pengelolaan  SDM yang terbatas rendah kuantitas dan  kualitas serta komitmen, akan menjadi persoalan dalam mengelolaan pemerintahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbangda bekerjasama dengan LSI per September 2013 justru menunjukkan bahwa kualitas pelayanan masyarakat di 5 Kabupaten/Kota di Propinsi Jambi masih di bawah standar . Dalam skala 1-10 yang diterapkan, maka kualitas ini masih di bawah 5.5 atau setara D. Kelima kabupaten ini ironisnya termasuk Kabupaten Bungo, di samping 4 lainnya yakni Tebo, Merangin, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Lebih mengherankan lagi bahwa kabupaten induk yakni Kabupaten Tebo pun mengalami hal yang senasib dengan DOB, mendapat rapor merah dalam persoalan pelayanan publik.

Ketiga,  persoalan batas wilayah dan aset. Sekalipun DOB secara de jure sudah  terbentuk, namun persoalan terkait dengan batas geografis wilayah serta penyerahan sebagian aset kepada daerah kepada DOB tetap menyisakan persoalan. Jika hanya menyangkut teknis pembagian administrasi tentu akan mudah diselesaikan namun jika terkait dengan kepentingan ekonomi politik dimana terdapat potensi SDA, maka akan tetap melahirkan persoalan baru dan berlarut-larut. Daerah induk akan berat melepaskan wilayah yang menjadi aset dan SDA sebagai sumber PADnya sama halnya dengan DOB yang memiliki kepentingan yang sama. Maka tidak heran menjadi konflik batas territorial melibatkan masyarakat sehingga berkembang menjadi konflik horizontal dimana masyarakat acapkali terbagi menjadi faksi-faksi kepentingan penguasa.

 

Penutup

Pemekaran wilayah adalah strategi pemerintahan untuk optimalisasi fungsi pemerintahan yang pada akhirnya bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Indikator awal menuju peningkatan kesejahteraan adalah kepuasan masyarakat terhadap layanan public yang mudah dan murah. Pemekaran wilayah sangat memungkinkan diwujudkan pemenuhan kualitas karena semakin dekatnya pusat layanan dibandingkan dengan sebelumnya dan semakin kecilnya rasio antara aparat dan masyarakat yang dilayani. Namun tentu pelayanan yang diharapkan hanya bisa diperoleh dari aparat yang berkualitas (punya integritas, komitmen dan etos kerja ) serta system pelayanan yang punya SPM dan SOP sesuai standar.  Jika benar DOB Kota Muaro Bungo adalah untuk kepentingan masyarakat, maka pemerintah harus bersungguh- sungguh memperhatikan aspek pelayanan ini. Rapor merah adalah ‘PR’ yang harus diselesaikan. Jika Kabupaten Bungo sudah memenuhi syarat administrasi untuk dimekarkan, maka DPR bisa saja memberikan limit waktu beberapa waktu kedepan untuk pembenahan aspek palayanan ini sebagai prioritas disamping kejelasan sumber PAD dan perbatasan serta penyerahan asset. Jika tidak, maka wacana DOB Kota Muara Bungo tidak akan pernah berpihak kepada kepentingan masyarakat.. Ia akan menjadi komoditas politik penguasa baru atas nama kepentingan masyarakat guna  mendapat lahan politik baru yang justru tidak memberikan apa-apa kepada masyarakat, kecuali kesengsaraan, konflik dan korupsi, jauh dari semangat pemekaran yakni peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.


*) Dosen IAIN STS Jambi,  Anggota Pelanta NIA.201307011

Tulisan ini dipublikasikan tgl 16 Nov-2013 di http://jambiupdate.com/artikel-rapor-merah-kabupaten-bungo–pr-di-balik-wacana-pemekaran-wilayah.html

Setelah sekian lama memendam hasrat untuk jalan-jalan ke Kerinci. Kesempatan itu akhirnya datang juga, horee. Maklum sohor Kerinci begitu memikat, setidaknya itu lah yang tertangkap dari informasi dan gambar yang pernah di dapat.
Pagi sekitar jam 08.30 start dari Kota Jambi. Sebenarnya jarak tempuh hanya 400km, namun waktu tempuh bisa mencapai 12 jam karena jalan propinsi menuju Kerinci yang berlubang di sana sini. Tetapi alhamdulillah kepenatan itu semua terbayar begitu masuk Bumi Kerinci yang begitu adem. Ya..inilah ‘Puncak’nya Jambi. Kami tiba sekitar pukul 10 malam, karena sepanjang perjalanan sempat mampir di Sarolangun untuk shalat Jum’at dan makan. Kami memilih Hotel Aroma letaknya dekat dengan perkantoran di Kota Sungai Penuh, kota pemekaran dari Kabupaten Kerinci.
Dari sisi fasilitas, hotel ini masih kelas melati. Tidak ada kolam renang (hehe ini yang mengecewakan Naya, anakku yang berusia 3 tahun. Terpaksa baju renangnya nganggur), air mandi panas yang dibatasi n non AC). Tapi dari posisi letak, hotel ini sangat strategis.
Besoknya, kami menuju Kayu Aro, sebuah kawasan perkebunan teh di Kaki Gunung Kerinci. Letaknya sekitar 20 km dari Kota Sungai Penuh atau sekitar 45 menit waktu tempuh. Sepanjang perjalanan jangan lupa sempatkan menikmati menu Dendeng Batokok khas Kerinci d sepanjang jalan menuju Kayu Aro. Rasanya enak karena pengolahannya yang berbeda dengan dendeng umumnya ditambah lagi dengan santapan nasi dari Beras Payo Kerinci yang super pulen. Wah mantap… Untuk penikmat kuliner, jangan lupa untuk mencicipi olahan menu lainnya seperti ikan dari Danau kerinci karena masih fresh sehingga rasanya pun enak. Harganya pun terjangkau, untuk porsi berempat cukup dengan kocek 70ribuan. Wah benar-benar puas.
Tujuan pertama kami adalah melihat air terjun. Lokasinya melewati perkebunan Teh Kayu Aro, Wow, luar biasa. Air terjun yang sebenarnya begitu potensial untuk pembangkit listrik , karena debit air yang ada sangat besar. Namun untuk dinikmati pun masih sangat perawan. Dengan tiket 1500 rupiah per orang kita sudah bisa menikmati air terjun. Dan kebetulan sedang gerimis, sehingga muncul tampilan pelangi. Si Naya pun excited, gak nyangka ya selama ini lagu ‘pelangi di langit yang biru’ ternyata ada di dekat air terjun. O,ya. Jangan lupa bawa jajanan masuk ke lokasi untuk dinikmati, kebetulan banyak penjual gorengan di pintu masuk. Enak juga karena hawanya sejuk jadi perut cepat merasa lapar.
Puas menikmati, air terjun kami pun berbalik arah mencari tempat penginapan. Di sepanjang jalan dekat perkebunan teh pun banyak tersedia; salah satunya adalah ‘family homestay’. Dengan tarif kamar yang terjangkau (Rp 150rb) kita pun sudah mendapat fasilitas VIP. Ada air panas, sarapan pagi nasi goreng dan teh panas, dan kamar yang homely. Losmen ini juga aman untuk tamu yang membawa kendaraan , karena punya area parkir yang safety. Kalau merasa lapar, ada tersedia mie dan minuman instan yang siap disajikan.
Besoknya kita pulang, namun sebelumnya sengaja keliling area untuk mencari oleh-oleh, dan sudah tentu murah karena langsung dari petani atau dari pengumpul. Kentang hanya Rp4.500/kg, bawang merah Rp.3.500/kg, wortel cuma seribu rupiah per kg. Lengkaplah perjalanan kami. Perjalanan pulang kami sempatkan mampir ke pinggiran Danau Kerinci, viewnya luar biasa. Di sinilah sering diadakan berbagai festival yang mengundang wisatawan baik lokal maupun wisatawan asing..

TUGAS MAHASISWA

1. Down load satu tulisan ilmiah, panjang minimal  6 halaman dengan abstrak dan referensi. Jika tidak ada footnote, tambahkan footnote rekayasa. Format seperti jurnal dengan header dan footer.
2. Buat mail merge, terdiri dari:
-10 recipients
-1 main document, berupa surat undangan acara….

Selamat bekerja

Assalamulaikum…

Assalamulaikum…
Selamat Datang di blog saya. Saya Nisaul Fadillah, seorang staf pengajar di Fakultas ADAB IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Blog ini adalah media saya untuk bertukar pikiran, berbagi pengalaman mengajar, meneliti melakukan kegiatan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar kampus. Semoga blog ini memberikan manfaat bagi kita semua.