Oleh. Nisaul Fadillah
Setiap minggu pertama Hari Senin di bulan Oktober saban tahun diperingati Hari Habitat Dunia (HHD), tahun ini HHD jatuh pada tgl 5 Oktober. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui tentang HHD karena gaungnya pun tidak begitu terdengar apalagi di tingkat lokal, namun pada dasanya HHD adalah alarm yang erat kaitannya dengan kebutuhan menyangkut keberlangsungan (sustainability) hidup manusia untuk memiliki hunian dan pemukiman yang layak. HHD adalah agenda dunia yang ditetapkan oleh PBB dalam sidang umumnya tahun 1985. Sejak itu, UN-Habitat, badan di bawah PBB mulai melaksanakan agendanya yang pencanangannya dimulai tahun 1986 di Nairobi, Kenya. Ada banyak tema yang telah diusung oleh UN-Habitat terkait dengan kota yang ideal, antara lain: A Safe City is a Just City (2007), Harmonious Cities (2008), Planning Our Urban Future (2009), Better City Better Life (2010), Cities and Climate Change (2011), Changing Cities Building Opportunities (2012), Urban Mobility (2013), Voices from Slums (2014).
Lantas apa sebenarnya esensi dari Hari Habitat? Sesuai dengan namanya habitat adalah lingkungan tempat hidup manusia yang harus memenuhi kriteria layak dan berkelanjutan. Tahun ini tema yang diusung adalah Public Spaces for All atau Ruang Publik untuk semua. Hal ini berangkat dari kesadaran akan semakin tingginya permintaan hunian dan fasilitas pendukung fisik pada masyarakat urban, namun di sisi lain luas lahan tidak pernah bertambah sehingga ruang public tidak mendapat perhatian serius. Penulis merasa tersentil untuk ikut berbagi keresahan tentang ruang publik ini, tidak sebagai seorang ahli tata ruang kota ataupun seorang planalogis, namun lebih sebagai warga kota yang memiliki tanggung jawab memikirkan keberlangsungan habitat kota ini.
Pertumbuhan Jambi dan Krisis Ruang Publik
Jambi mengalami begitu pesat dalam pembangunan fisik. Lebih dari satu decade Propinsi Jambi sudah menjelma menjadi 11 kabupater/kota pasca diluncurkannya UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Padahal sebelumnya hanya 5 Kabupaten/Kota sebelum tahun 1998. Ini menunjukkan begitu cepat pertumbuhan penduduk dan status wilayah administrative setingkat kecamatan bermetamorfosa menjadi kota atau kabupaten. Kota-kota baru yang terbentuk tersebut tentunya bergumul dengan dinamikanya masing-masing bergerak memenuhi tuntutan vital sebuah kota dengan ciri khas pembangunan fisiknya. Bagaimana cermin masing-masing ibu kota wilayah administrasi tersebut?
Potret yang paling dekat adalah Kota Jambi. Sebagai ibu kota propinsi, Kota Jambi mengalami pertumbuhan pesat dan bahkan pertumbuhan ekonominya tertinggi di Sumatera. Pembangunaan perumahan, mall-mall, perkantoran, jalan dan fasilitas fisik pendukung lainnya begitu massif dilakukan. Sayangnya, pembangunan tersebut belum memikirkan kebutuhan ruang public. Padahal ruang public, besar sekali manfaatnya untuk keberlangsungan kota. Ia tidak hanya mampu meningkatkan kebahagiaan masyarakat kota tetapi juga meningkatkan nilai property yang ada. Ruang public bersinergi juga bagi pertumbuhan ekonomi.
Ruang public adalah lahan bebas yang diisi fasilitas fisik bisa berupa taman, tempat bermain anak-anak dan remaja, ataupun panggung pertunjukan seni yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kota secara gratis. Garis bawahi bahwa sifatnya tidak boleh eksklusif, ia harus gratis dan bisa dan gampang diakses semua kalangan dalam segala tingkatan usia bahkan fasilitasnya pun harus ramah bagi kelompok manula, balita dan penyandang disabilitas. Tujuannya tentu untuk mewadahi masyarakat kota dalam berinteraksi dan berkomunikasi, menghilangkan sekat-sekat sosial, meningkatkan kreatifitas, dan menumbuhkan sikap kepedulian sesama, serta menciptakan keindahan kota.
Ruang Publik; Sebuah Keharusan
Simpel untuk melihat apakah ada ruang publik yang layak di sediakan pemerintah, cari tahulah kemana masyarakat kelas menengah ke bawah terutama menghabiskan waktu luangnya atau hari liburnya. Dugaan penulis sama, ketika pertanyaan ini diajukan kepada rekan-rekan dalam sebuah diskusi ringan, hampir semua menjawab, pilihannnya adalah kawasan perkantoran seperti perkantoran gubernuran atau walikota. Inilah ruang publiknya masyarakat Jambi. Ups, mungkin anda akan protes karena kawasan itu bukanlah ruang public yang direncanakan, hanya saja diiizinkan untuk masyarakat Jambi kumpul atau sekedar olah fisik, lari pagi dan belanja di pasar rakyat dadakan selama jadwal kegiatan perkantoran libur, biasanya Hari Sabtu dan Minggu. Fasilitasnya ya sebagaimana fasilitas perkantoran. Di luar hari-hari libut tentu saja anda tidak akan bisa menemui aktivitas ini karena sudah berganti fungsi utama sebagai pusat pemerintahan kota ataupun propinsi.
Lantas siapa yang bertanggung jawab menciptakan kota yang berkelanjutan dengan pemenuhan salah satu syarat yakni ketersediaan ruang publik? Tentu jawabanya adalah kita semua. Namun jika pilihan untuk memiliki dan mengelola ruang public tidak mungkin dilakukan oleh setiap keluarga urban, apakah bisa kebutuhan ini dikelola bersama? Jawabannya tentu saja bisa, karena pada dasarnya ruang terbuka adalah kebutuhan kolektif, tidak perlu dimiliki oleh pribadi tetapi bisa dinikmati bersama-sama. Pemerintah sebagai pemegang kewenangan dalam tata wilayah kota harus menjembatan kebutuhan masyarakat kota. Pemerintah jugalah yang harus menyediakan ruang public dan mewajibkan bagi pengelola lahan seperti kontrator perumahan dan fasilitas umum lainnya untuk menyisihkan lahannya bagi ruang public yang bisa diakses warga kota tanpa kecuali secara gratis tanpa pungutan. Atau pilihannya harus ada komitmen pengusaha real estate ataupun kawasan perbelanjaan untuk sharing profit bagi pengelolaan ruang public berkelanjutan yang dikelola di satu lahan bersama.
Hidup layak dan berkelanjutan adalah bagian dari kebutuhan manusia dan dikategorikan sebagai kebutuhan HAM. Apalagi mengingat pembangunan Jambi secara fisik yang luar biasa, terutama pusat-pusat belanja, mall-mall, hotel, restoran serta ragam bisnis yang menjadi urat nadi perekonomian kota. Lihatlah betapa sajian-sajian yang dihidangkan oleh pengelola pusat belanja dilahap habis oleh masyarakat. Masyarakat tidak banyak pilihan dalam memanfaatkan waktu luangnya. Namun di sisi lain kita pun perlu waspada tentang bahaya yang mengintai, dahsyatnya magnet yang ditawarkan oleh pengelola-pengelola pusat-pusat bisnis bukan tidak mungkin mengantarkan kita menjadi masyarakat yang konsumtif, hedonis, malas, tidak kreatif, tidak produktif, tidak peduli, serta individualis yang pada akhirnya akan melahirkan lebih jauh kesenjangan-disparitas sosial masyarakat. Kesemuanya itu jangan –jangan berawal dari kealfaan kita menyediakan ruang yang bernama ruang publik.
Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Jambi Ekspress, Senin 5 Oktober 2015